Kotabumi (gemamedia)
Puisi-puisi Isbedy Stiawan ZS dalam buku “Menungguku Tiba” multi tafsir. Siapa menunggu itu, apakah aku ataukah yang lain?
Demikian rangkuman dari diskusi buku puisi terbaru Isbedy Stiawan ZS, “Menugguku Tiba” penerbit Lampung Literature (Juni 2025) di to.KOBU.ku – KL Coffee Indonesia, Kelapa Tujuh, Kotabumi Lampung Utara, Jumat 19 September 2025 pukul 19.00-22.00.
Dua pemantik diskusi adalah dosen Universitas Muhammadiyah Kotabumi (UMKO) Lampung Utara Djuhardi Basri dan Meutia Rachmatia. Sedangkan moderator yakni Fitri Angraini, dosen UIN Radin Intan Lampung.
Diskusi dihadiri tak kurang 25 orang dari mahasiswa UMKO, seniman, dan pemerhati seni di Lampung Utara. Diantaranya Nani Rahayu, Maulana Imau, Milyar, Ayu Permata Sari, dan lain-lain.
Meutia yang sehari-hari Ketua Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia mengatakan bahwa puisi-puisi Isbedy yang multi tafsir mengangakat tema yang beragam. “Namun arus utama puisi Isbedy adalah kerinduan, penantian, dan kehilangan. Selain tema sosial,” ujar Meutia.
Dikatakan Meutia, yang menarik dari puisi Isbedy meninggalkan pertanyaan atau pesan setelah membacanya. Seperti siapa yang kehilangan, rindu, atau penantiaan itu. “Apakah aku penyair atau bukan aku penyair,” ujar Meutia.
Dari pengantar Isbedy saat berusia 67 tahun, dapat disebut tema-tema seperti itu juga cinta. Meutia menyebut puisi “Saatnya Kunikmati” (hal.27). “Kalau Djuhardi membahas pohon ngaceng, maka yang menarik bagi saya pada kalimat ‘aku tak sekokoh batang, aku pilih ini pembaringan. Menurut saya itu menarik jika tadi kita bicara tema penantian dan kerinduan, dan setiap.pembaca bisa menafsir sendiri menurut perspektifnya,” ungkap dia.
Sebelumnya Djuhardi Basri mengatakan, terpenting bagi penyair adalah memilih kata-kata dan menempatkan pada tempat yang tepat. Inilah yang ada pada penyair Isbedy dalam puisi-puisinya.
Djuhardi mengakui kalau mendengar Isbedy menerbitkan buku puisi, pertanyaannya adalah ada apa? “Ternyata Isbedy bukan saja produktif, tapi juga selalu ada tawaran yang lain dan baru,” katanya.
Masih kata Djuhardi yang juga penyair dan sutradara teater Sangkar Mahmud UMKO, dari judul saja Isbedy telah menempatkan kata yang pas dan multi tafsir. “Setelah saya membaca, ternyata pada dasarnya kita ini sedang menunggu. Siapa yang menunggu; akukah atau mautkah yang menunggu?” kata Djuhardi.
Jadi, lanjut dia, diksi atau pilihan dan penempatan kata yang pas merupakan pertaruhan besar bagi seorang penyair. “Dan ini ada pada Isbedy. Dia melalui puisi-puisinya mampu memilih dan menempatkan kata pada tempat yang tepat,” nilai Djuh yang disapa mahasiswa abi itu.
Bagian lain, Djuhardi menyebut Isbedy seperti Putu Wijaya dalam hal produktivitas Kedua sastrawan ini “gila” menternakkan karya.
Diskusi kemudian jadi menarik dipandu Fitri Angraini yang mampu menggelitik audiens. Koreografer Ayu Permata Sari bertanya apakah seniman harus tetap menjaga “gangguan” dalam diri untuk terus berkarya, atau sebaliknya mencari nyaman di zona aman.
Menanggapi pernyataan itu, Isbedy tegas akan memilih tetap di area mengganggu (gangguan) tersebut. “Sebab bagi seniman, kegelisahan dan gangguan itu membuat seniman terus mencari dan berkarya.
Diskusi ini juga diisi pembacaan puisi oleh Djuhardi Basri, Meutia Rachmatia, Shera, Alif, Ayu Permata Sari, dan ditutup Isbedy yang membacakan puisi “Sajaksajak Pendek Ditulis Ketika Kau Menungguku Tiba”.***